Dalam satu minggu ini ada saja
berita yang membuat hati teiris-iris, seperti berita tentang seorang siswi SMA
di Purwokerto yang melahirkan di dalam kamar mandi sebuah rumah sakit. Lalu kemudian
bayinya ditusuk dengan gunting hingga 11 kali tusukan. Selain itu juga ada
berita tentang dua orang (lagi-lagi) siswa SMA di Semarang yang membunuh sopir
taksi online dengan cara yang astagfirullah, bikin hati terkoyak. Ada apa
sebenarnya dengan generasi muda kita ini? Kenapa mereka yang masih sangat
belia, memiliki masa depan, dengan sangat tega mendzolimi diri sendiri.
Banyak pertanyaan yang
mondar-mandir dipikiran saya. Kenapa mereka melakukan hal tersebut? Darimana
mereka mendapatkan ide untuk melakukan perbuatan seperti itu? Bagaimana keadaan
keluarga mereka? Bagaimana didikan orangtua mereka kepada mereka?
Bagaimanapun, dalam setiap tindak
tanduk seorang anak tidak akan pernah terlepas dari cara didik orangtua kepada
anaknya. Karena logikanya, seorang anak yang sudah terbentuk ‘sistem imun’nya
dari dalam rumah, dia akan keluar dalam kondisi yang sudah kuat. Sudah siap
untuk bergulat dengan beragam kondisi lingkungan. Jikalaupun orangtua sudah ‘merasa’
mendidik dengan ‘benar’, apakah sudah dididik sesuai fitrah sang anak? Akan tetapi
perlu diingat juga, jangan sampai kita terlalu menyalahkan orangtua yang masih
belum mendidik anaknya dengan seharusnya. Bisa jadi mereka bingung, maka
ulurkan tangan kita untuk membantu dan menjadi support system.
Anak adalah Mahakarya Tuhan yang Sempurna
Tuhan tidak pernah sekalipun
menciptakan anak yang gagal. Tuhan tidak pernah sekalipun menitipkan benih
cinta dalam rahim setiap ibu dalam kondisi rusak. Tuhan tidak pernah sekalipun
berbisik kepada si janin bahwa “kamu akan terlahir sebagai anak yang gagal dan
nakal”. Tidak! Tuhan tidak pernah melakukan hal demikian.
Lalu, kenapa ada banyak sekali
anak yang nakal bahkan mereka tidak segan-segan melakukan kejahatan?
Sebenarnya mereka tidak nakal,
mereka hanya tidak distimulasi sejak dini untuk menjalankan kehidupan sesuai
fitrah kelahirannya. Sehingga ketika mereka mulai get involve dengan lingkungannya, si anak merasa kebingungan untuk
memfiltrasi mana yang baik dan mana yang buruk.
Otak manusia terdiri dari otak
sadar dan bawah sadar. Otak sadar menerima apa yang kita lihat, dengar dan
rasakan. Pada otak orang dewasa, biasanya akan lebih mudah memfiltrasi mana
yang baik dan mana yang buruk. Sedangkan pada otak anak, filter tersebut masih
belum terbentuk sempurna sehingga anak akan meniru setiap apa yang mereka lihat
ataupun dengar. Karena pesan tersebut akan disampaikan ke otak bawah sadarnya
tanpa filtrasi, sehingga tubuh anak akan merespons dan diwujudkan dalam perilakunya.
Oleh karenanya mendidik anak
harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan akalnya dalam menerima
ilmu dan pengetahuan. Mengambil istilah yang sering digunakan di Komunitas Ibu
Profesional, One bite at a time. Jika
diibaratkan makan, tidak mungkin kita menjejali banyak makanan sekaligus ke
dalam mulut. Tentu kita tidak akan pernah bisa menikmati setiap rasa pada
masing-masing makanan tersebut. Oleh karenanya perlu makanan yang masuk ke
mulut harus sesuai porsi lalu dikunyah secara perlahan. Begitu juga dalam
mendidik, orangtua harus menanamkan ilmu pengetahuan kepada anaknya secara
bertahap. Yang pasti jika sejak kecil sudah distimulus untuk bisa bertanggung
jawab, maka akan terlihat hasilnya ketika mereka sudah beranjak dewasa. Karena apa
yang ditanamkan oleh orangtua kepada anak akan menjadi bekal bagi si anak untuk
mendidik dirinya sepanjang hidupnya. Maka, jadilah pendidik terbaik untuk
anak-anak kita.
The most important period of life is NOT THE AGE of the university studies, but the first one, the period FROM BIRTH TO THE AGE OF SIX –Maria Montessori
Saya rasa pasti banyak yang
setuju bahwa masa emas setiap anak adalah usia 6 tahun pertama. Fase ini adalah
fase pondasi yang tidak boleh diremehkan oleh setiap orang tua. Karena pada
fase ini anak akan lebih mudah menerima setiap rangsangan baik dari orang tua
maupun lingkungannya. Sehingga penting bagi orangtua untuk menguatkan akhlak
anak pada fase ini. Karena kita tidak pernah tau di lingkungan luar, anak akan
menginjak lingkungan yang baik atau buruk. Mengambil ide dari Ayah Edy yaitu let’s make Indonesian strong from home. Anak-anak
Indonesia harus kuat dari dalam rumahnya. Tentu yang dimaksud Ayah Edy adalah
pendidikan terbaik dari orangtua kepada anak yang disesuaikan dengan fitrah
mereka. Sehingga mereka akan siap untuk menghadapi setiap tantangan
dilingkungannya.
Bagaimana jika seorang anak yang
sudah menginjak remaja tapi berkelakuan buruk?
It’s easy to build a child than it is to repair an adult –Anonymous-
Tidak mudah untuk memperbaikinya
ketika anak sudah menginjak usia remaja atau dewasa. Setiap orangtua pasti
membutuhkan usaha yang lebih kuat dan besar untuk menghadapinya. Pastinya juga
orangtua harus lebih ekstra sabar. Orangtua tidak boleh acuh dengan tingkah
buruk yang dilakukan oleh anaknya.
Sejauh yang saya tahu selama
belajar parenting, anak tidak akan pernah mendengarkan wejangan. Mereka akan
cenderung acuh terhadap setiap wejangan, apalagi perintah. Sehingga baiknya,
yang dilakukan oleh orangtua kepada anak adalah dengan cara diskusi. Anak harus
terbuka kepada orangtua dan orangtua harus menyiapkan telinga gajah dan hati
yang super lapang untuk menerima setiap cerita anaknya. Apalagi jika yang
diceritakan adalah hal-hal buruk yang dilakukan oleh anak. Sejauh yang saya
tahu, orangtua tidak boleh beraksi marah dan mengutuk, melainkan didengarkan
dulu lalu didiskusikan. Yang pasti saya belum ahli dalam hal ini, karena saya
baru belajar dari buku dan belum mempraktikkan.
Tugas menjadi orangtua berat ya? Justru
disitu kenikmatannya. Masyaa Allah.
Kolaborasi Peran dalam Pendidikan
It takes a village to raise a child.
Value ini sering sekali
digaungkan di Komunitas Ibu Profesional dan juga oleh penggagas Fitrah Based
Education, Ust. Harry Santosa. Kita butuh orang sekampung untuk mendidik
seorang anak. Saya mengartikannya sebagai sebuah ajakan untuk kita mengambil
tanggung jawab bersama dalam mendidik seorang anak.
Sudah tidak jamannya lah kita
acuh dan menganggap “ah bodo amat! Dia bukan
anak saya”, “ngurus anak saya sendiri aja masih susah, boro-boro mau ngurus
anak orang lain”. Menurut saya sudah nggak jaman lagi ya kita bersikap
seperti ini. Bagi saya, kita tidak harus ‘bersentuhan’ langsung dengan si anak,
minimal kita memberikan contoh yang baik bagi orang lain, terutama anak-anak
dan remaja.
Melihat fenomena yang terjadi
saat ini dikalangan anak dan remaja. Dimana sekarang banyak sekali anak dibawah
umur melakukan tindakan kriminalitas yang melampaui level ‘terlalu’. Saya rasa
sudah saatnya kita semua –siapapun itu- untuk mengambil peran dalam mendidik
mereka, walaupun mereka bukan anak kita sendiri. Jika bukan kita, siapa lagi
yang akan mendidik mereka. Karena bagaimanapun mereka adalah generasi penerus
yang seharusnya dididik agar menjadi generasi unggul.
Orangtua, masyarakat umum, guru,
media (cetak, online, TV) sebaiknya bekerjasama untuk memperkokoh akhlak
generasi muda kita. Caranya? Yang pasti adalah orangtua memberikan memberikan
stimulasi yang baik bagi si anak sejak kecil, masyarakat memberikan contoh yang
baik bagi anak, guru melakukan kerjasama dengan orangtua dan juga menjadi
orangtua mereka di sekolah, media menyajikan tontonan atau bacaan yang
edukatif. Dan saya rasa perlu ya bagi media terutama TV (karena banyak
digandrungi ibu-ibu) untuk menyajikan tontonan yang berkaitan dengan pendidikan
keluarga dan anak. Sehingga masyarakat yang tinggal diplosok dan hanya punya TV
bisa mendapatkan pengetahuan tentang bina keluarga dan pendidikan anak.
Sejujurnya saya sedih banget mengetahui
ada anak usia 16 tahun hamil diluar nikah lalu membunuh anaknya sendiri. Bagi
saya tindakan ini sudah melampaui batas. Namun bagaimanapun, kita jangan sampai
mengutuk anak tersebut, apalagi sampai menjauhi ataupun mencibirnya. Yang ada
sikap tersebut menambah luka pada diri anak tersebut dan tentu juga
keluarganya.
Jika seandainya hal yang tidak
diinginkan terjadi, lalu apa yang harus dilakukan oleh orangtua?
Saya teringat ketika mengikuti
talkshow Asma Nadia di PPNS, beliau berpesan kepada kedua anaknya “apapun yang
terjadi, kalian harus cerita kepada ayah dan bunda. Seburuk apapun itu, harus
cerita. Karena kami akan menerima dan memberikan kalian pelukan”. Ah, ini yang
banyak orangtua abaikan. Masih banyak orangtua yang langsung marah dan
membentak anaknya ketika mereka berbuat tidak sepatutnya. Ya memang betul,
orangtua mana sih yang tidak marah ketika mengetahui anaknya berbuat buruk?! Tapi
bagaimanapun, dalam situasi tersebut orangtua kudu punya hati yang lapang dan
memberikan pelukan yang hangat untuk anaknya yang masih kebingungan.
Selain itu, masyarakat juga
jangan sampai memandang sinis terhadap tindakan buruk seorang anak. Paling tidak,
masyarakat harus mau mengulurkan tangannya dan memberikan senyum terbaik agar
si anak juga merasa diterima. Saya rasa dengan cara demikian dapat mempermudah
anak untuk memperbaiki kesalahannya dan berubah menjadi lebih baik.
Ah, Totto-chan dalam perjalanan
kemanusiannya di sebuah negara di Afrika. Suatu kali mendatangi seorang anak
yang ditangkap karena mencuri pakaian. Totto-chan berkata kepada si anak “Kamu
harus tahu bahwa ada seorang wanita Jepang yang percaya bahwa kamu adalah anak
yang baik. Kamu akan memperbaiki kesalahanmu dan tidak akan pernah
mengulanginya lagi. Ingat ya, bahwa saya percaya kamu adalah anak yang baik”. Bagi
saya apa yang dilakukan oleh Totto-chan sangatlah indah.
Tulisan saya ini tidak bermaksud
untuk menggurui. Saya menulis seperti ini bukan berarti saya tahu dan paham
segalanya tentang parenting. Tentu tidak! Melainkan saya terus berproses dan
belajar untuk bekal ketika saya sudah memiliki anak nanti. Tulisan ini bagi
saya adalah untuk mendidik diri saya dan juga pengingat bagi diri saya. Dan saya
mengajak Anda, yang membaca tulisan ini, untuk kita sama-sama menjadi pribadi
yang lebih baik dan mengambil peran untuk mendidik generasi penerus bangsa ini.
Jika bukan kita? Siapa lagi? Jika bukan sekarang? Kapan lagi?
----------------------------------------------------------------------------------
Sumber Referensi :
1. Setyawan, Angga. 2013. Anak Juga Manusia. Noura Books.
2. Rahman, Yusuf A. 2014. Didiklah Anakmu Seperti Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Diva Press.
3. Paramita, Vidya D. Jatuh Hati pada Montessori. B First.
4. Kuroyanagi, Tetsuko. Totto-chan's Children. A goodwill Journey to the Children of the World. Gramedia.
Waktu aku kuliah dulu, yg hamil bukanlah anak2 bandel tp justru yg pendiam & baik. Mungkin dia gagap menghadapi kebebasannya selepas SMA. Ketika punya anak remaja sendiri, aku ceritakan saja hal2 seperti itu krn kebebasan itu memang membuai.
ReplyDeleteIya nih mbak lusi. Jaman sekarang semakin memprihatinkan. Jadiny kudu ekstra mendidik ya skrg. Semangat 😊
DeleteMbak... tulisannya jleb banget ini, buat aku yang sekarang berkecimpung di dunia pendidikan. Duh baca paragraf awalnya langsung lemesss, astaghfirullah bisa ya itu terjadi, kalo udah gitu hati nuraninya udah kalah sama 'bisikan-bisikan'... Ya Allah, serem banget ngebayanginnya... Bener-bener harus bekal ilmu agama yang kuat di akhir zaman ini, kayak misalnya di sekolah anak-anak 'tampak' baik-baik aja pergaulannya, tapi kita ga tau lingkungan mereka di luar, terutama dari gadget yang kalo di rumahnya udah dibebaskan....heuheu... Setuju banget mbak, semoga semakin banyak orang yang tergerak hatinya untuk mengambil peran untuk mendidik generasi penerus bangsa ini :)
ReplyDeleteBetul mbak mira. Memang harus ada kolaborasi dalam mendidik anak. Apalagi dijaman seperti sekarang ini :) wah, semangat ya mbak mira dalam mendidik calon penerus bangsa :)
Delete