Haaii.. haii.. Apa kabar
semuanya? Semoga selalu diberikan kesehatan ya. Dalam tulisan saya kali ini akan
berbagi cerita tentang kegiatan diskusi yang diadakan oleh Radar Surabaya
mengenai “ Menggagas Wisata Cagar Budaya Surabaya” pada tanggal 30 Januari 2018 lalu. Acara diskusi ini diisi
oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surabaya, Bapak Drs EC Widodo Suryantoro;
Tim Ahli Cagar Budaya Pemkot Surabaya, Bapak Dr. Purnawan Basundoro, SS. Mhum;
Director Surabaya Heritage Society Ir. Freddy Handoko Istanto, M.T.Ars, IAI. Seharusnya
Ibu Walikota – Ibu Tri Rismaharni – juga diundang dalam acara ini. Namun ternyata
beliau ada kepentingan yang tidak bisa ditinggal.
Narasumber Diskusi |
Alhamdulillah pada tanggal 30
Januari 2018 kemarin, saya mendapatkan kesempatan untuk hadir di acara diskusi
yang diadakan oleh Radar Surabaya tersebut sebagai remah-remah rempeyek.
Kenapa? Karena kebanyakan yang hadir adalah dari persatuan atau komunitas atau
himpunan yang berkaitan dengan wisata ataupun kecagarbudayaan. Ada juga orang
yang sudah saya kenal hadir diacara tersebut seperti ketua RW Maspati, Bapak
Sabar. Sedangkan saya tidak dari instansi manapun. Tidak apa-apa deh ya. Karena
yang penting saya bisa mendapatkan pengetahuan baru nih tentang wisata cagar
budaya. Diskusi ini diadakan sekaligus dengan diresmikannya kantor Art Gallery
Radar Surabaya.
Kantor Radar Surabaya merupakan
salah satu gedung cagar budaya di Surabaya. Saya kurang tahu pasti gedung
tersebut dulunya berfungsi sebagai gedung apa, yang pasti gedung ini dibangun
sekitar tahun 1880an. Cikal bakal diadakannya diskusi ini karena wisata cagar
budaya di Surabaya masih belum terkonsep dengan baik seperti yang sudah
dilakukan kota lainnya. Kota-kota yang sudah mengadakan wisata cagar budaya
adalah Jakarta dengan Museum Fatahillah, Semarang dikawasan Gereja Bledug, dan
juga Bandung dikawasan jalan Braga.
Salah satu kawasan di Surabaya
yang sebenarnya sangat potensial dijadikan sebagai kota tua adalah kawasan
Kembang Jepun dan sekitarnya. Di kawasan tersebut berdiri banyak sekali
bangunan-bangunan jaman Eropa, baik yang terletak di pinggir jalan utama, juga
hingga di area perkampungan sekitar. Selain itu juga sungai dan jembatan merah
yang ada disana memiliki sejarah tersendiri di masa penjajahan, bahkan jauh
sebelum penjajahan. Namun yang menjadi masalah adalah kawasan Kembang Jepun dan
sekitarnya merupakan kawasan perdagangan, sedangkan luasan perkampungannya
lebih kecil. Hal ini berarti, jika pemerintah kota ingin menjadikan kawasan
kembang jepun sebagai area wisata cagar, akan membutuhkan usaha yang lebih
besar.
Menurut Bapak Sundoro, wisata
kota lama penting untuk diadakan di Surabaya mengingat Surabaya merupakan
satu-satunya kota yang dijuluki Kota Pahlawan dan memiliki keterikatan dengan
sejarah kolonial yang sangat kuat. Dalam mengadakan wisata cagar budaya,
terutama menghadirkan kota lama, ada 3 hal yang harus ditunjukkan yaitu : (1)
keunikan yang terdapat dikawasan wisata tersebut; (2) adanya keterhubungan
antara masa lalu dengan masa kini seperti adanya nilai-nilai masa lampau yang
masih dipertahankan hingga saat ini; (3) romantisme masa lampau dengan masa
kini.
Dalam hal mempertahankan keunikan,
keterhubungan dan romantisme masa lampau dengan masa kini, salah satu contoh
sukses yang ditemukan di Surabaya adalah House of Sampoerna (HOS) yang terletak
di Surabaya Timur. Selain menunjukkan bangunan dengan gaya Eropa, HOS juga
masih mempertahankan tradisi memilin rokok secara konvensional. Hal ini dapat
dilihat dari lantai 2 gedung utama HOS pada saat jam kerja. Selain itu, HOS
juga sangat instagramable, sehingga
tidak hanya menarik wisatawan yang suka dengan sejarah, namun juga menarik para
remaja yang sekedar menikmati suasana di area tersebut.
Tantangan Dalam Mewujudkan Wisata Cagar Budaya di Surabaya
Kawasan di Surabaya dengan
bangunan bergaya Eropa sangat mudah ditemukan seperti di Kampung Peneleh,
Kampung Maspati, Kampung Ampel dan kawasan Kembang Jepun. Namun yang baru
terlihat adanya peningakatan wisata ada di Kampung Lawas Maspati dan juga
Kampung Ampel.
Salah seorang budayawan Surabaya |
Saya pernah mendapatkan
pengalaman berharga ketika saya berkunjung ke Kampung Peneleh. Salah satu
bangunan yang sangat terkenal di Kampung Peneleh adalah Rumah HOS Cokroaminoto.
Selain itu, di kawasan kampung tersebut juga terdapat kuburan Peneleh yang
merupakan peninggalan Belanda. Namun kata beberapa orang di kampung tersebut,
banyak jasad yang di kubur disana sudah dipulangkan ke negara asalnya. Namun kuburan
masih tetap dibiarkan seperti adanya sebagai aset pemerintah dan benda cagar budaya.
Kampung Peneleh sebenarnya sangat
potensial untuk dijadikan sebagai kampung wisata cagar budaya karena masih
banyak bangunan dengan gaya Eropa yang ditemukan di kampung tersebut. Akan
tetapi, sebagaian besar yang menghuni rumah-rumah di kampung tersebut sudah
berusia senja. Sehingga akan kesulitan untuk mengajak masyarakat setempat
berpartisipasi dalam meningkatkan wisata cagar budaya disana. Sedangkan anak-anaknya
sudah banyak keluar dari kampung tersebut dan membeli hunian di tempat yang
lebih modern. Selain itu, menurut penuturan salah satu warga, ada warga di sana
yang mengubah fasad bangunannya karena khawatir jika sewaktu-waktu rumahnya di
ambil oleh pemerintah kota untuk dijadikan sebagai bangunan cagar budaya. Hal ini
menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah Kota Surabaya dimana sebaiknya
Pemerintah Kota Surabaya mengadakan edukasi kepada masyarakat terkait bangunan
cagar budaya.
Kalau kita benar-benar jeli
melihat, sebenarnya banyak kok bangunan cagar budaya bergaya Eropa sudah
berubah fasad menjadi lebih modern. Entah benar-benar dirubah total ataupun
ditutupi dengan material yang lebih modern.
Pada saat acara diskusi, Bapak
Widodo selaku Kadin Kebudayaan dan Pariwisata Surabaya memberi himbauan kepada
masyarakat untuk membantu pemerintah kota dalam mengidentifikasi adanya
bangunan cagar budaya di area tempat tinggalnya. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan pemerintah dalam tracking bangunan
cagar budaya di Surabaya,baik yang ada di tengah kota maupun di area
perkampungan.
Tantangan lainnya yang dihadapi
oleh Pemerintah Kota Surabaya maupun masyarakat yang bekerja di dunia
kepariwisataan adalah setiap kali membawa tamu dari luar negeri ke Surabaya,
kadang tamu tersebut merasa bosan jika disuguhkan bangunan-bangunan bergaya Eropa.
Alasan mereka memang sangat masuk akal yaitu karena bangunan seperti itu sudah
banyak mereka temukan di negara asal mereka. Sehingga baik pembicara dalam
acara diskusi maupun para tamu yang hadir sepakat bahwa dalam mewujudkan wisata
cagar budaya di kota adalah tidak hanya sekedar menonjolkan bangunannya, namun
juga harus terdapat aktivitas yang menarik, tidak hanya sekedar dinikmati
secara visual, namun tamu juga dapat ikut bergabung di dalamnya.
Selain itu, menurut saya dan salah seorang teman, baiknya tamu-tamu luar negeri tersebut juga perlu untuk diinfokan bahwa bangunan bergaya Eropa yang ada di Indonesia sebenarnya berbeda dengan yang ada di negeri mereka. Hal ini berkaitan dengan kondisi iklim di Indonesia dengan di negara sub-tropis yang sudah pasti berbeda.
Selain itu, menurut saya dan salah seorang teman, baiknya tamu-tamu luar negeri tersebut juga perlu untuk diinfokan bahwa bangunan bergaya Eropa yang ada di Indonesia sebenarnya berbeda dengan yang ada di negeri mereka. Hal ini berkaitan dengan kondisi iklim di Indonesia dengan di negara sub-tropis yang sudah pasti berbeda.
Di Kota Surabaya sendiri sudah
ada 273 bangunan cagar budaya yang dipertahankan. Namun masih banyak lagi
bangunan cagar budaya yang sulit untuk diberikan label cagar budaya karena
terkendala dengan kepemilikan, benturan dengan kepentingan provinsi dan
tentunya konsistensi dari pemerintah kota dalam menjaga bangunan cagar budaya.
Meningkatkan Spirit Masyarakat Kampung untuk Mewujudkan Wisata Cagar
Budaya di Surabaya
Satu hal yang masih sangat ingat
jelas saat kuliah Pak Silas di semester 1, beliau berkata “Surabaya bukan
mall-mall atau apartement yang berdiri megah. Namun Surabaya adalah kampungnya.
Kalau mau mencari Surabaya ya di kampung-kampungnya. Bukan di Mall atau
apartement yang menjulang tinggi”. Saya setuju dengan apa yang dikatakan Pak
Silas. Kampung Surabaya selalu menarik untuk dikaji. Sehingga saya tidak heran
jika banyak para akademisi dari negara lain datang ke Surabaya untuk sekedar
ingin merasakan kampung di Surabaya ataupun memang datang untuk penelitian.
Pernah suatu hari saya menemani
seorang Profesor dari New Zealand. Ketika saya mengantarkan beliau ke Kampung
Kenjeran, beliau masih ingin berlama-lama disana dan mengajak istrinya dan juga
kami untuk menikmati ambience kampung
tersebut. Kemudian saat kami melajutkan perjalanan ke kampung lain, kebetulan
kami melewati jalan Kertajaya dimana di sepanjang jalan tersebut terdapat
rumah-rumah mewah dan modern. Beliau berkata “Emang balkon di rumah-rumah itu
digunakan? Percuma sekali jika hanya sekedar jadi pemanis tapi tidak
dimanfaatkan dengan seharusnya. Saya tidak suka dengan bangunan seperti ini. Lebih
enak rumah-rumah di kampung daripada rumah modern itu”. Dalam hati saya
menyetujui pernyataan beliau.
Pengalaman saya yang lainnya
yaitu ketika menemani dua kandidat profesor dari Belgia. Saat itu adalah
pertama kalinya mereka menginjakkan kaki ke Indonesia dan datang ke Surabaya
karena salah seorang temannya selalu membahas tentang kampung Surabaya. Dan mereka
sangat tertarik dengan kampung di Surabaya.
Kampung Surabaya sebenarnya sangat potensial untuk dijadikan sebagai kawasan wisata cagar budaya, mengingat masih banyak bangunan cagar budaya yang terdapat di perkampungan dan juga kehidupan sosial masyarakat kampung yang khas. Saat ini sudah ada beberapa kampung tematik di Surabaya yang menyuguhkan wisata cagar budaya itu sendiri, seperti yang sudah dilakukan oleh masyarakat Kampung Lawas Maspati. Hal ini sepatutnya juga dicontoh oleh kampung-kampung lainnya. Sehingga nantinya akan muncul kampung-kampung tematik lainnya yang menyuguhkan wisata cagar budaya.
Berbekal pengalaman saya selama 2
tahun kuliah di Perumahan Permukiman ITS Surabaya dan sering survey ke banyak
kampung, saya sangat setuju bahwa memang dalam pembangunan harusnya dilakukan
dengan sistem bottom up.
Bapak Sabar (Ketua RW Kampung
Lawas Maspati) memberikan pendapatnya saat acara diskusi dengan berapi-api. Beliau
menyatakan bahwa untuk mewujudkan adanya wisata cagar budaya di Surabaya
haruslah dengan merangkul masyarakat setempat. Mewujudkan wisata cagar budaya
dapat di mulai dari kampung-kampung yang ada di Surabaya dan tentunya dengan
adanya kesadaran dari masyarakat setempat. Jika bukan masyarakat sendiri yang
menjadi tonggak dari wisata itu sendiri, lalu siapa lagi? Selain itu mewujudkan
wisata cagar budaya harus sesuai dengan potensi yang ada di kampung tersebut.
Bukannya membawa hal lain untuk diberikan kepada masyarakat kampung. Hal ini
nantinya akan menyebabkan wisata tersebut tidak dapat berkelanjutan. (well said from a person who introduce himself
as an unschool-man,one and half years ago).
Selama saya kuliah di Perumahan
Permukiman seringkali dibahas bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan adalah dengan menstimulasi kesadaran masyarakatnya dan
masyarakatlah yang berperan paling besar dalam pembangunan. Nantinya pemerintah
akan membantu untuk menyediakan infrastruktur. Karena hal tersebut adalah
kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah untuk masyarakat. Hal ini juga
ada kok di teori John F. Turner dimana teori tersebut sangat bisa diterapkan
dalam berbagai aspek pembangunan.
Di Surabaya sendiri sebenarnya
sudah dibentuk Kopdarwis atau Kelompok Sadar Wisata seperti yang sudah
terbentuk di Kampung Maspati dan juga Kampung Ampel dan kampung lainnya. Kelompok ini dibentuk
selain untuk merangkul masyarakat dalam mewujudkan kesadaran wisata di
kampungnya, juga untuk menggali potensi yang ada di kampung tersebut. Tentunya
dalam meningkatkan kesadaran dalam diri masyarakat menjadi tantangan yang luar
biasa baik bagi komunitas ataupun oleh pemerintah.
Dalam mewujudkan wisata cagar
budaya di Kota Surabaya tidak hanya sekedar tentang bagaimana agar wisata
tersebut menghasilkan pundi-pundi pendapatan. Akan tetapi bagaimana agar wisata
tersebut masyarakat melek sejarah dengan hadirnya wisata cagar budaya tersebut.
Seperti yang digaungkan bapak Proklamasi kita, Pak Soekarno, yaitu Jas Merah :
Jangan sekali-kali melupakan sejarah.
menarik sekali pembicaranya, apalagi artikelnya.
ReplyDeletesaya sangat ingin ikut dalam diskusi tersebut yang dipameri brosur dari salah satu pembicara di atas. sayang, saya tinggal di Nganjuk, jauh dari sbyn :(.
senang sekali bisa menemukan artikel ini. terimakasih banyak mbak.... :))
Hallo! Salam kenal. Terima kasih sudah berkunjung :) wah iya ni sayang sekali. Mungkin next time kalau ada kesempatn ya
Delete