Tahun ini lagi nggak pingin beli buku baru ataupun baca buku yang belum pernah dibaca. Melainkan saya pingin baca ulang buku-buku yang ada di rumah. Karena saya merasa setahun kemarin jiwa saya seperti terombang-ambing di tengah samudera lepas #tsaaahh. Seperti seorang yang kehilangan arah dan mulai putus asa. Ahaaayyy~
Soalnya saya sudah baca banyak buku tapi saya merasa tidak ada satupun dari isi buku yang saya baca nyangkut di jiwa saya. Kayak kepental aja gitu semua 🤣. Nggak ada yang tercerna dan terolah dengan baik. Sehingga hasilnya ya begini-begini aja. Saya masih seperti pelaut yang terombang-ambing dengan layar tercabik dan kehilangan arah 🤣.
Ya begitulah akibatnya kalau "baca" buku cuma sekedar "dibaca". Kurang dihayati, kurang direnungkan. Sehingga tidak ada dialektika dan implementasi yang berarti setelah membaca buku tersebut.
Karena kondisi tersebut, buku pertama yang ingin saya baca adalah Fihi Ma Fihi, salah satu karya masyhur dari Maulana Rumi. Karena saya rasa buku ini sesuai dengan apa yang jiwa saya butuhkan. Saya tidak bermaksud meng-alQur'an-kan buku ini, melainkan menjadikannya wasilah untuk menyirami jiwa saya yang sedang kemarau. Ahaaaaayy~
Buku ini adalah satu favorit saya. Bukan buku yang ringan untuk dibaca, namun cukup dialektis sekaligus menampar. Ketika membaca buku ini saya merasa seperti seorang cucu yang mendengarkan kakeknya menyampaikan nasihat, tapi tidak terkesan menggurui.
Buku ini baru saya baca 3 bab atau pasal (istilah yang digunakan dalam buku tersebut). Pasal pertama sih masih bisa paham sikit-sikit. Masuk pasal 2 dan 3 rasanya otakku berasa keropos 🤣🤣🤣.
Yah, bismillah aja ya. Semoga aja bisa nyantol hikmahnya 😂.
Pasal 1 : Semua Terjadi Karena Kuasa Allah
Dari judulnya aja nih udah bisa ketebak kan Mbah Rumi mau bahas apa. Ya sudah jelas tentang kuasa Allah yang mana menjadi pesan dari Rumi pada Amir Barwanah. Seorang tokoh besar kala itu dari Dinasti Saljuk, Romawi.
Ceritanya Amir Barwanah ini sebenarnya punya niat baik untuk mengembalikan kejayaan Islam. Akan tetapi niat baiknya itu memiliki kecenderungan didorong oleh hawa nafsu, bukan bentuk ketawakalan nya kepada Allah. Sehingga Rumi mengingatkan agar selalu melibatkan Allah dalam setiap langkah dan keputusan yang kita ambil. Karena kadang kala tanpa kita sadari, kita lebih cenderung melibatkan nafsu yang akhirnya berujung pada kekecewaan bahkan petaka.
Maksudnya tuh, tanpa disadari kita sering ditipu oleh persepsi diri kita. Jadi Pak Amir Barwanah ini sudah merencanakan ini itu agar Islam jaya kembali. Sudah membayangkan kalo Islam jaya bakalan begini dan begitu dengan cara ina inu. Tapi Pak Amir Barwanah nggak sadar kalau apa yang dia bayangkan dan dia pikirkan bisa jadi adalah tipuan persepsinya. Namun bukan berarti Pak Amir Barwanah nggak boleh punya niat demikian lho ya. Bukan. Melainkan jangan lupa juga niat baik disertakan ketawakalan.
Bisa aja kita membayangkan ina inu agar begini begitu. Tapi segala sesuatu kan sudah Allah yang atur. Sehingga kita perlu melibatkan Allah. Merendahkan diri dihadapan Allah, biar kita nggak tertipu oleh persepsi diri kita akan sesuatu.
Singkatnya : jangan kepedean dalam berencana dan bertindak. Ntar kecewa lagi 😝
Selain itu juga Mbah Rumi mengingatkan bahwa apa yang sudah ditakdirkan oleh Allah pasti terkandung kebaikan di dalamnya. Meskipun kejadiannya tidak mengenakkan hati, bikin pening bahkan emosi negatif membumbung, tapi kalo kita punya sikap innalillahi wa inna ilaihi roji'un dan lillahi ta'ala, insyaa Allah pasti kita bisa lebih lapang dada dan ridho menerima takdir Allah.
Belajar dari do'a Rasulullah yang dipaparkan oleh Mbah Rumi dalam buku tersebut (hal. 34) yang mana Rasulullah berdo'a agar diperlihatkan segala sesuatu dengan apa adanya. Karena kadangkala sesuatu tampak indah, namun ternyata di dalamnya terkandung keburukan. Begitu juga sebaliknya. Itulah kenapa Rasulullah berdo'a demikian agar tidak terjerumus dalam kesyirikan dan ketersesatan.
Rasulullah lho yang berdo'a begitu. Manusia yang sudah dijamin surga, manusia yang tak punya noda-noda soda. Apalah kita yang melihat pintu surga aja belum tentu. Kebanyakan isi doanya adalah materi dunia 🤑🤣🤣🤣. Ya, nggak apa-apa sih minta materi dunia, asal digunakan untuk kemaslahatan bersama.
Materi dalam pasal ini begitu menampar banget sih bagi saya yang seringkali kufur nikmat. Udah gitu mudah putus asa pada hal-hal sepele yang sebenarnya bisa jadi itu adalah bentuk rasa sayangnya Allah. Cuma saya aja sih yang nggak tau caranya menikmati sebuah proses. Alih-alih sadar akan rahmatNya yang tercurah, malah jadi mudah uring-uringan yang berujung pada kekufuran 🥲.
Maaf, ya Allah 🙏.
Terus jadi keinget sama ungkapan Umar yang bilang :
Mantep banget nggak tuh, gaes?
Ya kalau punya keimanan setingkat Umar, memang akan mudah saja mengatakan dan mempraktikkan yang demikian. Tapi kalau keimanannya ndlosor kayak saya, ya kudu punya usaha ekstra untuk bisa setawakal itu 🤣🤣.
Oleh karenanya kita perlu punya sikap merendahkan diri dihadapan Allah. Biar kita nggak mudah tertipu oleh persepsi dan pikiran kita sendiri. Pasrah, tunduk dan ridho akan takdir yang sudah ditetapkanNya. Layaknya ikrar yang kita tunjukkan dalam bentuk sujud di tiap solat kita ❤
INGET ITU MIAAAAAAAA!!!! CAMKAAAANNNN!! 🤣🤣🤣🤣🙏
Bhaique~
Saya hanya sanggup bercerita sampai pasal 1 saja. Karena pasal 2 & 3 sulit untuk kucerna, walau sebenarnya ada secuil hikmah yang bisa di dapat. Tapi itupun saya nggak tau benar atau salah 🤣.
Yah, ketimbang jadi keliru lebih baik tidak ya. Silakan baca sendiri saja bukunya. Saya kasih spill di pasal 1 saja 🤣🤣.
Eh tapi saya mau spill sedikit hikmah yang saya dapat dari pasal 3. Biar bisa jadi pengingat bagi diri saya ketika membaca kembali tulisan ini.
Jadi di halaman 46 ada pernyataan yang mengatakan, "Khawajagi melihat dengan mata batin bahwa arah shalat para murid itu membelakangi kiblat". Pada awalnya saya kesulitan untuk memahami keseluruhan paragraf tersebut sampai akhirnya saya tersadar bahwa hal ini sering terjadi pada saya. Ya, apalagi kalau bukan menjadikan shalat hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban 🤣🤣.
Gerakan shalat itu kan hanya kulitnya ya, semacam formalitasnya. Tapi masalahnya pas shalat apakah hanya menggerakkan fisik saja atau ruhaninya juga ikutan shalat atau nggak?
Kalau saya? Ya nggak usah ditanyalaaah. Udah pasti masih sekedar menggugurkan kewajiban rather than melebur dalam cahaya Allah 😂😂.
Oke, udah ah! Ketimbang saya makin ngalor ngidul.
Maapin ya kalau ada yang salah-salah. Mo bilang "Namanya juga masih belajar", nanti dikira banyak alasan🤣.
Bhay!
Post a Comment
Post a Comment