Beberapa hari lalu saya lagi ngikutin yang sedang viral. Ya apalagi kalau bukan Gitasav vs Everybody. Seperti yang netijen ketahui bahwa Gitasav bikin dunia online heboh lagi perkara childfree adalah natural anti-aging karena bisa tidur 8 jam per hari, nggak dengerin bebocilan screaming, edebreh. Tentu pernyataan tersebut bikin banyak mamak geram. Saya nggak geram sih hanya menyayangkan saja. Hahahah. Namun setelah saya baca curhatannya di blog, empati saya timbul.
Dalam unggahannya di blog, dia cerita kalau ibunya adalah orang tua yang narsistik. Dia juga cerita kalau dia tuh paling takut sama emaknya. Sama, saya juga takut sama emak saya karena kalo teriak bikin merinding. Hahahah. Dia nggak boleh sedih, nggak boleh marah. Pokoknya nggak boleh mengekspresikan perasaannya. Bahkan dia juga nggak boleh memiliki privasi.
Ibunya sering banget tiba-tiba masuk kamar terus cek-cek hp nya. Kayak posesif gitu lho. Ya tau sih dunia jaman sekarang tuh ngeri-ngeri sedap. Pasti tiap orang tua ada rasa khawatir anaknya sibuk dengan hal-hal nggak penting dan menjerumuskan. Tapi bagaimanapun kan anak juga butuh privasi kan? Sama kayak kita orang tua juga butuh privasi 🙂.
Give trust to your kids ❤.
**********
Saya pribadi bisa memahami perasaannya yang tidak diberikan ruang untuk mengekspresikan apa yang dia rasa. Saya tau banget rasanya ketika menangis dikatain cengeng oleh ibu sendiri. Ketika marah malah dimarahin balik dan dibandingkan dengan bapak saya yang sabar 🥲. Tapi Gitasav pasti nggak pernah tau rasanya didoakan jelek sama ibu sendiri kan 🥲? Saya pernah dan itu sangat menyedihkan.
Saya tidak membenci ibu saya meskipun beliau cukup kasar terhadap saya baik fisik maupun lisan. Hanya saja saya menyayangkan sikapnya yang demikian. Padahal seorang ibu adalah teladan utama bagi anaknya. Tapi sisi lain saya bisa mengerti beliau seperti itu ya karena bapaknya juga kasar. Selain itu juga beliau menikah di usia yang teramat muda tanpa bekal pengetahuan apapun soal mengasuh anak. Jadi ya, begitulah~
Tapi sisi baiknya juga banyak kok. Namanya juga manusia pasti ada baik buruknya kan. Ya kecuali Rasulullah yang diberikan kesempurnaan akhlak ❤. Dari pengalaman pribadi ini memotivasi saya untuk banyak mengoreksi diri, banyak belajar dan memperbaiki diri.
Curhatan Gitasav juga jadi pengingat banget untuk diri saya sendiri agar menjadi ruang aman bagi anak. Karena kalau anak tidak punya ruang aman untuk mengekspresikan perasaannya akan membuat si anak mencari tempat lain. Makanya kenapa sih sekarang tuh banyak banget kita temukan anak yang melampiaskan emosi tidak pada tempatnya. Banyak anak yang akhirnya melakukan hal-hal nggak penting karena ya dia kurang mendapat rangkulan dari orang tuanya.
Kalau ada yang pernah liat cuplikan IG live nya Gitasav, kamu pasti bakalan istighfar banget dengernya. Ya gimana nggak istighfar, lha dia marah-marah sampai ngata-ngatain netijen gobl*k, tol*l gitu.
Ya, saya bisa memaklumi kemarahannya karena doi sering jadi bulan-bulanan netijen. Tapi melampiaskan kemarahan kayak gitu di IG live kan sama aja menjatuhkan dirinya sendiri. Namun bisa jadi pelampiasan emosi yang seperti itu sedikit banyak terjadi karena trauma masa kecilnya. Bagaimanapun, disadari atau tidak, diakui atau tidak, perlakuan orang tua ke anaknya dapat memengaruhi cara anak berperilaku, rilis emosi dan pengambilan keputusan. Namun hal ini juga bisa berubah seiring kesadaran si anak akan kondisi dirinya. Sehingga ia memiliki usaha untuk mengubah dirinya menuju lebih baik.
******
Jika dalam perjalanan dan perenungannya, Gitasav akhirnya memilih untuk tidak punya anak. Berbeda dengan saya, tentunya saya tetap ingin mewujudkan impian saya menjadi seorang ibu dan memiliki keluarga yang sakinah. Oleh karenanya sejak belum menikah saya belajar parenting agar saya memperlakukan anak saya dengan baik. Saya tidak ingin seperti ibu saya yang melampiaskan emosinya ke anak secara impulsif. Saya ingin menghentikan dosa jariyah ini cukup sampai di saya (Mohon bantuannya ya Allah 🙏).
Saya berharap anak cucu saya tidak perlu berlelah-lelah mengobati luka batinnya. Karena proses panjang membasuh luka batin ini amat melelahkan. Sehingga ia bisa berlomba-lomba melakukan kebaikan. Ya walau dalam prosesnya, menjadi ibu yang sabar dengan masih adanya luka batin itu susaaaahh sekali.
Oleh karenanya kalau kamu belum nikah atau sudah nikah tapi belum punya anak, baiknya sembuhkan luka batinmu dulu ya.
Saya sangat bersyukur sekali karena Allah merahmati saya seorang suami yang sabar, pengertian dan memiliki "telinga gajah". Bagi saya, dia adalah wasilah yang Allah beri untuk saya membersihkan sampah-sampah emosi yang masih menumpuk dalam diri saya. Bersamanya saya memiliki tempat yang luas untuk mengekspresikan perasaan saya. Namun tentu tidak dengan cara berlebihan.
Saya juga bersyukur karena Allah menitipkan amanah yaitu Hening. Melaluinya saya terus belajar untuk meregulasi emosi saya. Belajar untuk menerima emosinya dan menyadari apa-apa yang perlu saya kontrol dan ubah dalam diri saya.
Saya juga bersyukur karena ngikutin tren Gitasav sehingga saya jadi lebih termotivasi untuk memperbaiki diri. Agar saya bisa menjadi ruang aman bagi anak saya. Sehingga kelak ia tidak perlu mencari ruang lainnya dan nggak perlu mencari validasi dari orang lain.
Insyaa Allah~
Saya menyadari betul bahwa childhood trauma yang saya alami banyak berkontribusi dalam hal-hal negatif pada diri saya. Sehingga saya mulai perlahan untuk kenalan lagi dengan diri saya, masuk lebih dalam ke diri saya, membuang sampah-sampah emosi dan mereparasi yang perlu direparasi. Melelahkan, tapi pasti ada kebaikan di dalamnya 🙃. Allahu a'lam.
Semoga Allah memampukan kita semua menjadi orang tua yang bijak, ikhlas dan sabar dalam menjalankan peran langit ini.
Post a Comment
Post a Comment